Berhaji Cukup Sekali ........
” Aku telah haji di depan rumahku,” Ucap Muwwaffaq kemudian sambil menengadahkan kedua tangannya ke langit.”
Dalam keadaan fisik yang lelah, Abdullah bin Mubarak, tertidur di lantai Masjidil Haram, dalam tidurnya, ulama zuhud ternama yang hidup di era pemerintahan Bani Abbasiyah ini bermimpi didatangi dua Malaikat. Kedua Malaikat itu turun dari langit khusus untuk menemuinya. Dalam mimpinya ia mendengar dialog kedua Malaikat itu. “ Berapa jumlah kaum muslimin yang menunaikan haji tahun ini ? “ Tanya salah satu Malaikat,” Ada 600 Ribu orang,” jawab yang satunya.” Lalu berapa yang hajinya diterima Allah ?. Tidak seorangpun, kecuali ada seorang lelaki yang bernama Muwwaffaq dari Damaskus yang hajinya diterima Allah, Bahkan berkat Ibadahya itu menyebabkan haji kaum muslimin diterima Allah,” Jawab Malaikat yang ditanya.
Begitu terbangun dari mimpi, Abdullah bin Mubarak mencari orang yang bernama Muwwaffaq, Ternyata Muwwaffaq adalah seorang lelaki tukang sol sepatu yang telah bertahun-tahun mengumpulkan uang untuk bekal melaksanakan ibadah haji. Suatu saat, istrinya minta dibelikan makanan. Tak sulit bagi Muwwaffaq menemukan makanan yang diminta istrinya, Ketila hendak pulang Muwwaffaq tertarik dengan kepulan asap yang keluar dari dapur rumah sorang tetangganya. Setelah mengucap salam, Muwwaffiq masuk ke rumah itu, Apa yang didapatinya ?
Seorang Perempuan tua dan beberapa anak yatim sedang memasak daging Keledai. Menurut Perempuan tua itu, yang ia masak adalah Bangkai Keledai, ia terpaksa melakukannya karena telah beberapa hari tidak ada yang bisa dimakan. Mendengar jawaban itu Muwwaffaq segera pulang menemui Istrinya. Didapatinya sang istri tak bernafsu lagi dengan makanan hasil pencarian sang suami. Muwwaffaq gembira dan lantas menceritakan kejadian yang baru saja dilihatnya. Akhirnya keduanya sepakat kalau tabungan haji mereka diinfaqkan kepada perempuan tua yang menanggung anak yatim tersebut. ” Aku telah haji di depan rumahku,” Ucap Muwwaffaq kemudian sambil menengadahkan kedua tangannya ke langit.”
Kisah Tersebut menarik untuk direnungi. Dalam ajaran Islam, pahala tak bisa dinilai semata dari kuantitas tapi juga harus memperhatikan kualitasnya. Secara kualitas mereka yang berangkat ke Tanah Suci, melakukan thawaf, Sai, Wukuf di arafah dan rangkaian ibadah haji lainnya tentu lebih besar dibandingkan dengan orang yang hanya memberi makan tetangganya. Padahan dalam kisah di atas, Muwwaffaq baru pertama kali ingin berhaji. Bagaimanah dengan orang-orang yang berhaji beberapa kali ?
Imam al-Ghazali dalam karya magnum opus-nya, Ihya’ Ulumuddin dengan keras dan lantang mengkritik para haji, baik yang baru pertama kali atapun yang beberapa kali haji. ” Terhadap mereka yang baru pertama kali haji, al – ghazali melontarkan kritiknya. Menurutnya diantara mereka yang banyak berangkat tanpa lebih dulu membersihkan jiwa dan hati. Mereka banyak mengabaikan aspek-aspek ibadah haji yang berdimensi psikis dan etis. Ketika tiba di tanah suci mereka tak mampu menjaga kesucian diri untuk tidak mendzalimi orang lain ketika thawaf, mengolok-olok, berkata keji.
Kritik yang disampaikan, al-ghazali itu sebenarnya relevan dan signifikan bagi kondisi bangsa yang kini dihadapkan pada persoalan kemiskinan akibat krisis berkepanjangan. Lalu mungkinkah hukum haji ulang ( yang ke dua,dst ) itu bergeser dari sunnah menjadi makruh atau bahkan haram ???.
Secara umum ada beberapa alasan pengulangan ibadah haji. Pertama : , mengulangi haji semata-mata memperbanyak amalan sunnah. Kedua : mengulangi karena haji yang pertama terasa belum sah lantaran ada beberapa syarat dan rukun yang mungkin tak sempat atau lupa dijalankan, ketiga : Mengulangi ibadah haji karena gengsi dan ikut-ikutan.
Dua kategori terkhir itulah yang relevan dengan kritik Imam al-ghazali pada mereka yang sangat berkeinginan melaksanakan ibadah haji lagi. Mayoritas umat Islam Indonesia, bahkan yang hidup di tengah komunitas Muslii mancanegara sampi detik ini masih memutlakan wajibnya haji yang pertama dan sunnah bagi yang bermaksud berhaji kembali. Pandangan ini disebabkan mayoritas umat Islam tak memiliki pengetahuan cukup memadai tentang Thuruq al-istimbath al-ahkam ( metode-metode pengambilan hukum ). Seiring ketidakberdayaan mereka dalam memahami ajaran Islam secara benar, integral, dan komprehensif, selama ini yang kita ketahui hukum ibadah haji wajib dan sunnah bagi yang ingin mengulanginya. Mereka belum menemukan hukum haji berulang-ulang, makruh atau bahkan haram ???
Para ulama menetapkan hukum wajib dan sunnah itu karena berlandaskan pada Al-Qur’an Surat Ali Imran : 97 ) yang artinya : ” Allah mewajibkan atas manusia untuk menyegaja bait ( pergi ke Baitullah menunaikan ibadah haji ) bagi yang mampu mengadakan perjalanan kesana, ” (QS. Ali Imran : 97 ).
Sedang penetapan hukum sunnah didasarkan pada hadist yang diriwayatkan Imam Ahmad , ” Barangsiapa ingin menambah atau mengulangi ibadah haji itu hukumnya sunnah.”. Sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Jabir , Rasulullah Saw Bersabda ,” Tiada balasan apapun bagi mabrur kecuali surga, Ditanya kepadanya, apa makna mabrur itu ? Dijawab, suka memberi makanan ( bantuan sosial ) dan selalu lemah lembut dalam berbicara.”
Tak heran kalau Ibrahim bin Yazid al-Nakha’i, seorang tabi’in yang lahir 46 H ( 666 M ) dan hidup pada era pemerintahan Bani Umayyah, pernah mengeluarkan sebuah fatwa, ” Sedekah itu lebih baik daripada haji sunnah.” Dengan demikian mengulangi ibadah haji sesudah haji pertama hukumnya makruh, karena itu pengulangan ibadah haji yang disebut oleh hadist di atas sebagai sunnah bisa saja berubah menjadi makruh dan atau bahkan haram apabila realita bertentangan dengan maslahat ( kebaikan ) yang ditetapkan secara qath’i ( pasti ).
Memelihara anak yatim dan menyantuni fakir miskin yang berkali-kali sebagai program pengentasan kemiskinan oleh Al-Qur’an, merupakan mashlahat yang qath’i ( pasti ) dan amat mendesak ketimbang menunaikan haji sunnah yang berulang. Menyerahkan dan mendayagunakan haji sunnah ( haji ulang ) bagi mereka yang membutuhkan, jelas merupakan mashlahat yang berimplikasi positif. Ini amat relevan dan signifikan buat kondisi bangsa Indonesia yang kini secara obyektif sedang dihadapkan pada masalah kemiskinan akibat krisis berkepanjangan.
Mengingat secara kuantitatif/jumlah umat Islam Indonesia Mayoritas, maka problem kemiskinan merupakan urusan umat Islam itu sendiri. Karena itu, kepada kaum muslimin yang telah meraih gelar ” haji ” dan berkeinginan untuk melaksanakan lagi kali kedua dan seterusnya, sebaiknya berpikir, secara kalkulasi pahala, memikirkan ulang keinginan berhaji ulang juga bisa dijelaskan. Kalau kita berhaji tiga kali kemudian meninggal, maka tak ada lagi nilai tambah atau pahala bagi kita. Berbeda kalau kita berhaji cukup sekali saja, lalu dana yang untuk haji kedua, didayagunakan untuk beasiswa bagi yang miskin dan orang-orang yang kreatif dan produktif, kita akan tetap memperoleh pahala yang selalu berkesinambungan meski kita telah meninggal dunia.
Memang dalam Al-Qur’an Ibadah haji Wajib hukumnya ” Seruhkanlah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai Unta yang kurus yang datang dari segala penjuru yang jauh.” ( QS. Al-Hajj : 27 ). Dalam ayat lain Allah berfirman , ” Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Tuhan,” ( QS. Ali Imaran : 97 )., Namun sebagian besar dari kita mungkin cenderung memandang ibadah haji sebagai ritual individu, bukan ritual politik komunal.
Sehingga dalam praktiknya seakan-akan suatu keimanan seseorang belum mumpuni kalau belum berhaji. Umatpun berlomba-lomba megumpulkan uang dan habis untuk biaya haji. Menyejahterakan rakyat memang tugas pemerintah. Tapi mungkinkah menunggu tindakan pemerintah di saat sebagian besar dana APBN didapat dari utang luar negeri dan digerogoti oleh Koruptor ( KKN ) seperti saat ini ???
Akhirnya, bila dana yang dikeluarkan berhaji ulang, disalurkan untuk menolong mereka yang membutuhka, manfaatnya akan lebih besa. Dana yang tersalurkan akan menetes ke arus bawah, menyebar ke samping, dan mengalirkan pahala berlimpah. Ganjarannya bukan 10 tapi lebih dari 700 kali lipat. Allah berfiman , ” Perumpamaan ( manfaat ) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir biji yang menumbuhkan tujuh butir dimana setiap butir mengandung seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa saja yang dikehendakinya.” Allah maha luas ( karunia ) dan maha tahu.” ( QS. Al-Baqarah : 261 ). ( Slams ).
Sumber : Majalah Sabili edisi 13 , Dzulhijjah 1426 H.
Komentar