HAJI, IBADAH PARIPURNA DAN PAMUNGKAS
Oleh : Prof Dr HM Din Syamsuddin MA
(Ketua Umum PP. Muhammadiyah)
Ibadah haji adalah ibadahyang bersifat paripurna dan pamungkas. Karena ibadah haji menghimpun beberapa ibadah lain seperti shalat, infak, sedekah, kurban bahkan puasa. Oleh sebab itu, dipersepsikan umat, ibadah haji merupakan pamungkas dari rukun Islam. Sehingga juga tidak salah seolah-olah jika seorang muslim belum menunaikan ibadah haji, belum sempurna keislamanannya.
Pelaksanaan ibadah haji yang sangat mengandalkan kesiapan fisik dan non-fisik karena secara esensial bersifat amaliyah dan perbuatan memiliki makana yang dalam sekali. Inilah ibadah napak tilas keimanan ditanah dan dua kota suci Islam yaitu Makkah Al-Mukarramah dan Madinah Al-Munawwarah.
Thawaf, sa’i, wukuf dan melempar jumrah serta kegiatan ibadah lain selama musim haji merupakan flash back atau napak tilas terhadap kesadarn Ibrahim as sebagai Bapak Ketuhanan Yang Maha Esa maupun Bapak Monotheisme. Sebab, beserta Siti Hajar dan Ismail, Ibrahim as telah mencontohkan kegiatan tersebut.
Ibadah haji dapat membawa kepada tiga kesadaran. Pertama, kesadaran theologis, ini makna yang terdalam yang dilambangkan oleh thawaf mengitari Ka’bah sebagai sebuah arus kesadaran akan Yang Maha Esa. Thawaf buka menagungkan Ka’bah tetapi terhadap pemilik-Nya.
Kedua, kesadaran historis untuk menumbuhkan semangat jihad dan dakwah. Kegiatan ibadah haji membawa jamaah melakukan kegiatan di Ka’bah, Raudah di Masjid Nabawi, gua hira maupun ziarah ke uhud untuk mengingatkan betapa berat perjuangan Rasulullah saw bersama para sahabat pada wal sejarah Islam saat kejahiliyaahan Arab.
Ketiga, kesadaran sosialogis. Ibadh haji melibatkan umat Islam dari berbagai penjuru dunia yang memiliki keragaman budaya ,watak dan perilaku Sehingga ada yang menyebut sebagai muktamar umat muslim. Ini bisa membawa kebanggaan sebagai muslim yang ternyata merupakan umat terbesar di dunia.Islam yang ternyata merupakan umat terbesar di dunia. Islam di anut sekitar 1,4 miliar penduduk dunia serta memiliki kecendrungan terus berkembang.
Tiga lingkaran kesadaran ini di harapkan membawa kepada sebuah kemabruran. Makna yang melekat pada ibadah paripurna dan pamungkas.paripurna dari sudut aspek dan dimensinya.Pamungkas mengingat pelaksanaanya memang seperti diakhir. Mabrur atau al-birr karena esensi dan komitmen ibadah haji pada kebenaran kekuatan dan kemasalahatan. bahkan doanya allahummahajjan mabrruran.
Untuk itulah al-quran menjelaskan ” kebajikan itu bukanlah menghadapkan ke wajahmu kearah timur dan kearah barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta dan untuk memerdekakan hamba sahaya, melaksanakan sahlat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan, dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa ” (QS Al-Baqoroh 2:177)
Sedang yang berhubungan dengan dengan memberi, Allah SWT berfirman dalm Al-qu’ran surat Ali-Imran (3) ayat 92 Lantanalul birra hatta tunfiku mimma tuhibbuna. Wama tunfiku min syain faiinallaha bihi’alim (”kamu sekali-kali tidak sampai pada kebajikan yang sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”)
Bagaimana kemaslahatan tadi bisa diwujudkan jamaah haji ? . apakah al birr masih dilaksanakan dalam perbuatan baik seperti ketika menunaikan ibadah haji ? .. Maka sejatinya kemabrurran haji akan tampak pada masa pasca haji. Masa menunaikan ibadah haji adalah dimensi latihan dan simbolik. Sedang kerja kemasalahatan justru baru dimulai setelah pulang ke tanah air.
Makna Al-birr disimbolkan dengan orientasi kejiwaan untuk menunaikan ibadah secara fokus dan utuh kepada Allah. Semua urusan duniawai bersifat sekunder. Ihram simbol mengendalikan diri dari hal-hal yang terlarang mirip prinsip imsak dalam puasa. Karena imsak berarti menahan diri yang berhubungan dengan kata al musku-mutamassik (berpegang teguh pada nilai-nilai kebenaran).
Kemudian melempar jumrah symbol menjadi orang-orang yang rejactionis terhadap semua keburukan dan godaan syetan. Kebersamaan serta melakukan infak dan sedekah dengan ringan dilakukan. Kesadaran semacam itu yang harus ditransfer pasca masa hajidengan peningkatan direalisasikan ketika berada ditanah air.
Sayang sekali, nilai-nilai kemabruran itu masih belum menghiasi kehidupan jamaah haji setelah tiba ditanah air. Kendati prdikat ‘haji’ sebagai sebuah social recognation (pengakuan sosial) mengandung harapan. Kemampuan mengendalikan diri selama berihram hilang. Bahkan ada gejala paradok, ibadah haji tidak terlalu berkorelasi positif menekan kemungkaran. Pelaku korupsi, misalnya, tidak sedikit yang berpredikat haji bahkan berkali-kali umrah.
Ini yang harus dikoreksi dan disadari bahwa sesungguhnya bahwa ibadah dalam Islam lebih sebagai jalan dari pada tujuan. Bukan tujuan dalam arti ketika selesai menunaikan haji kemudian selesai. Tapi, ibadah haji-ibadah itu lebih sebagai sarana dan latihan membentuk kepribadian yang paripurna. Diharapkan dengan demikian bisa mengamalkan perbuatan baik.
Ibadah lebih berdimensi hablum minallah tapi harus dilaksanakan dalam hablun minannas. Maka pasca ibadah adalah masa seseorang beriman menunaikan tanggungjawab sebagai pribadi kemanusiaan. Jika selesai shalat masa untuk menunaikan makna shalat, selesai haji adalah masa untuk menunaikan makna haji itu.
Jadi, buka berhenti pada pelaksanaan ibadah itu sendiri. Apalagi terjebak kerutinan dan hanya mampu secara temporer mengantarkan kita kepada kesalehan individual selama menunaikan ibadah tapi gagal untuk menampilkan kesalehan sosial pada masa pasca ibadah. Kemabruran haji adalah sebuah tanggungjawab pada masa pasca haji. (Disampaikan dalam majalah Labbaik Depag RI)
Komentar