Anak Yatim dan Orang Miskin Dalam Ekonomi Islam ( Bagian ke-2 )



Anak Yatim dan Orang Miskin Dalam Ekonomi Islam ( Bagian ke-2 )
“Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin.” (Al Baqoroh,2:177)
“Katakanlah, “Apa saja harta benda (yang halal) yang kamu infakkan, maka berikanlah kepada ibu bapak, kaum kerabat dan anak-anak yatim.” (QS Al Baqoroh,2:215)
“Dan mereka bertanya kepadamu mengenai anak-anak yatim. Katakanlah, “Memperbaiki keadaan anak-anak yatim itu amat baik bagimu.” (QS Al Baqoroh,2:220)
 “Dan ujilah anak-anak yatim itu (sebelum baligh) sehingga mereka cukup umur (dewasa). Kemudian jika kamu melihat keadaan mereka (tanda-tanda yang menunjukkan bahwa mereka telah berfikir matang dan mampu menjaga hartanya) maka serahkanlah kepada mereka hartanya. Janganlah kamu makan harta anak-anak yatim secara melampaui batas dan secara terburu-buru (merebut kesempatan) sebelum mereka dewasa.” (QS An Nisa,6)

Ayat-ayat tentang (anak) yatim berulangkali dijumpai dalam al Quran yang pada dasarnya merupakan perintah Allah agar kaum beriman memerhatikan kondisi yatim baik terkait masalah kebutuhan ekonominya seperti makan dan minum, sandang papan, maupun yang lebih bersifat psikologis berupa kasih sayang, pendidikan, rasa aman dan nyaman. Definisi yatim menurut sejumlah ulama adalah anak (dibawah usia baligh) yang ditinggal wafat ayah, sedangkan anak yang ditinggal wafat ibu dan anak yang ditinggal karena perceraian tidaklah dikatakan yatim. Jadi yatim adalah anak-anak dibawah usia baligh yang ditinggal wafat ayah sementara pada periode itu anak-anak masih membutuhkan santunan dan kasih sayang.

Di Indonesia dikenal juga istilah piatu bagi mereka yang ditinggal mati orangtuanya dan disebagian daerah istilah yatim piatu dimaksudkan sebagai anak sebatangkara yakni kehilangan ayah dan ibunya, jadi istilah piatu dikonotasikan sebagai ibu. Sementara al Quran menyebut yatim saja sebagai anak yang kehilangan (wafat) ayahnya. Dalam Islam kedudukan ayah sebagai kepala rumah tangga dan imam keluarga sangat penting dan bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan keluarga dimulai dari kebutuhan pokok yakni makan minum, sandang papan hingga kebutuhan rasa aman dan nyaman di dalam kehidupan keluarga.


Oleh karenanya ayat-ayat yang berisi tentang yatim senantiasa dikaitkan dan terkait dengan kebutuhan-kebutuhan tersebut diatas mulai dari memberikan makan anak yatim, menjaga harta anak yatim hingga memberikan kasih sayang. Pendek kata anak yatim perlu disantuni dan disayangi. Perintah menyantuni dan menyayangi anak yatim tidak disekat dengan batasan suku, etnis, dan asal usul termasuk latar belakang agama. Namun tentu kita mesti memerhatikan anak-anak yatim yang ditinggal ayahnya yang beragama Islam, tetapi bila di lingkungan sekitar ada anak yatim non Muslim yang perlu dibantu maka kita harus menyantuni dan membimbingnya dengan kasih sayang sekaligus ini merupakan lahan dakwah umat Islam.

Memberikan makan bagi kaum yang membutuhkan seperti anak yatim dan memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan lainnya agar mereka sejahtera lahir dan batin merupakan perintah agama terkait aktivitas ekonomi yang berdasarkan syariah. Sesungguhnya ajaran Islam sangat lengkap dalam menuntun umatnya beraktivitas ekonomi tanpa perlu berkiblat pada ekonomi non syariah yang landasan filosofi  mereka berbeda. Asal usul ilmu ekonomi dari rumpun ilmu sosial, menyangkut persoalan sosial kemasyarakatan dan tentu berbeda karakter dengan ilmu pasti alam yang terkait dan berhubungan dengan aspek-aspek selain manusia. Oleh karena menyangkut aspek manusia dan setiap umat manusia itu memiliki worldview sendiri, maka temuan ilmu atau pendapat pakar dalam bidang ekonomi tentu membawa serta pandangan alam atau yang dikenal sebagai worldview yang melekat dalam dirinya.

Worldview yang melekat erat itu merupakan "a basic belief system that guides action, deals with the first principles or ultimates, and defines for its holder the nature of the world, the individual's place in it, and the range of possible relationships to that world and its parts"(Aref Atari dalam Prolegomena for an Islamic Perspective of Educational Management. The American Journal of Islamic Sciences 16:1, Spring: 1999 page 68), sehingga temuan-temuan keilmuan (apalagi ilmu tersebut berhubungan dengan interaksi antar manusia) tidak terlepas dari cara pandang, pola pikir, keyakinan, prinsip dan filosofi ilmuwan itu sendiri. Ini berarti temuan prinsip ekonomi liberal yang merambah luas di kalangan masyarakat Islam sudah sepatutnya dikritisi dengan worldview Islam yang bersumber pada ayat-ayatqawliiyyah dan contoh-contoh Nabi atau mungkin juga dari hasil ijtihad sosial para ilmuwan muslim yang tercerahkan.

Proses mengkonsultasikan temuan pakar ilmu sosial termasuk ekonomi dengan sumber-sumber ajaran Islam perlu dimulai dari hulu pemikiran sang pakar bukannya di hilir yakni manakala ilmu tersebut telah meluas menjadi disiplin ilmu terapan seperti manajemen. Hal ini dimaksudkan agar proses konsultasi temuan dengan worldview Islam itu menjadi lebih efektif dan dari titik ini sesungguhnya pihak ilmuwan Islam dapat melanjutkannya dengan menyusun konsep, teori ilmu yang berdasarkan nilai-nilai Islam dan dapat diperluas dalam bidang-bidang terapan seperti manajemen yang merupakan disiplin terapan dari ilmu ekonomi liberal. 
Oleh : Aries Musnandar
(Pendidik dan Peminat Kajian Ekonomi Islam)



Komentar