Pengetahuan Seputar Nikah
a) Makna
ijab Kabul
Ijab
adalah ucapan pertama dari pihak laki-laki. Sedangkan kabul adalah jawaban dari
pihak perempuan. Ijab kabul ini disebut dengan shîghah. Adapun ijab
menurut Hanafi adalah ucapan pertama dari kedua mempelai dan kabul adalah
ucapan kedua setelah lafal ijab.
b)
Syarat-syarat Shîghah
1. Lafal
akad dalam satu majelis.
Apakah
yang dimaksud dengan satu majlis di sini? Apakah pengucapan ijab dan kabul
harus satu majlis atau lafal keduanya harus beriringan. Untuk lebih jelasnya
kita lihat pendapat ahli fikih. Jumhur mengatakan bahwa lafal kabul harus
langsung diucapkan setelah ijab walaupun berbeda tempat. Jadi, shîghah nikah
tetap sah selama lafal ijab dan kabul beriringan; tidak ditunda dengan
pekerjaan atau dengan perbincangan lainnya. Maka, secara tidak langsung hukum
lafal ijab kabul melalui telepon, internet, atau alat komunikasi lainnya adalah
sah selama lafal ijab kabul terucap langsung tanpa hambatan.
Di sini
ada perbedaan pendapat tentang lafal ijab kabul yang diucapkan secara langsung,
apakah ia termasuk salah satu dari syarat shîghah atau tidak? Jumhur
berpendapat bahwa lafal ijab kabul secara langsung bukan termasuk dari syarat
shîghah. Sedangkan Syafi'iyah berpendapat bahwa lafal ijab kabul secara
langsung adalah salah satu dari syarat shîghah. Pendapat paling kuat adalah
pendapat pertama yaitu jumhur fuqaha.
2. Lafal
akad harus terdengar dan maksudnya dipahami.
Jadi,
akad nikah dengan surat atau isyarat bagi yang buta dan tuli tetap sah selama
maksud tulisan dan isyarat tersebut dipahami.
3.
Perkataan mujib (yang mengucapkan ijab) tidak ditarik kembali
sebelum lafal kabul terucap.
4.
Kesesuaian antara lafal ijab dan Kabul.
5.
lafal ijab kabul harus bersifat mutlak, tidak terikat.
c)
Permasalahan Tentang Shîghah
- Lafal
Ijab Kabul
Pertama,
dilihat dari segi lafal kabul. Fuqaha sepakat bahwa lafal kabul boleh dengan
lafal apa saja yang menunjukkan keridlaan dan kesepakatan pihak kedua. Kedua,
dilihat dari segi lafal ijab. Fuqaha sepakat juga bahwa akah nikah sah dengan
menggunakan lafal al-inkâh atau al-tazwîj. Adapun penggunaan lafal ijab kabul
selain al-inkâh dan al-tazwîj ulama berbeda pendapat. Syafi'iyah dan Hanabilah
mengatakan bahwa akad nikah sah hanya dengan lafal al-tajwîz atau al-inkâh,
tidak boleh dengan lafal lain sebagaimana firman Allah Swt.: “Dan jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS.
an-Nisâ`: 3)
Disebutkan
juga dalam Hadis: “Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang sudah
mampu (menikah), maka menikahlah. Barang siapa yang tidak mampu, maka
berpuasalah karena puasa dapat menjadi perisai”. (HR. Bukhari)
Hanafiyah
membolehkan lafal ijab kabul dengan selain al-tajwîz dan al-inkâh, karena
lafal tersebut seperti lafal hibah, sedekah dan lainnya yang mengandung makna
kepemilikan. Mereka berpendapat seperti ini karena menurut mereka nikah adalah
kepemilikan. Jadi, akad nikah sah selama menggunakan lafal al-tamlîk
(menyatakan kepemilikan) sebagaimana firman Allah: “…dan perempuan mukmin
yang menyerahkan dirinya pada nabi kalau nabi mau mengawininya…". (QS.
al-Ahzâb: 50)
Disebutkan
juga dalam Hadis: ”Seorang wanita mendatangi Rasulullah Saw., kemudian dia
berkata: “Ya Rasulullah aku hibahkan diriku untukmu”. (HR. Nasâi)
Wajhu al-Dilâlah
Jika
nikah dengan lafal hibah dibolehkan bagi Rasulullah, maka hal ini juga boleh
bagi umatnya.
Sedangkan
Malikiyah mengatakan bahwa lafal nikah tidak boleh menggunakan lafal hibah dan
tamlîk.
Pendapat
paling kuat adalah pendapat Syafi'iyah dan Hanabilah yang mengatakan bahwa
nikah sah hanya dengan lafal al-inkâh atau al-tazwîj, karena dengan dua lafal
ini, perjanjian dalam akad nikah dapat diketahui dengan pasti.
Apabila
terjadi kesalahan dalam melafalkan akad, maka kesalahan tersebut dapat dimaklumi
selama ia tidak memalingkannya dari maksud akad. Contohnya jika wali
mengatakan, “Jawwaztuki binti hâdzihi” (aku nikahkan anakku ini),
kemudian mempelai laki-laki menjawab, “qabiltu hâdza al-jawâz” (aku terima
pernikahan ini). Demikian juga jika kesalahan tersebut dalam i'rab atau dalam
struktur kalimat, maka ijab kabul tetap sah sebagaimana jika seorang wali
mengatakan “zawajtu laka binti" atau "zawajtu binti ilaika” (aku
nikahkan anak putriku kepadamu).
Setelah
kita mengetahui bahwa akad nikah tidak sah kecuali dengan dua lafal; al-inkâh
atau al-tazwîj, selanjutnya timbul pertanyaan, apakah penggunaan lafal tersebut
harus menunjukkan masa lampau atau yang akan datang? Dalam permasalahan ini
fuqaha mensyaratkan dua bentuk pengucapan lafal ijab kabul. Pertama,
masing-masing ijab kabul menggunakan lafal yang menunjukkan masa lampau
(mâdhi). Kedua, ijab menggunakan lafal yang menunjukkan masa lampau (mâdhi),
sementara kabul menggunakan lafal yang akan datang (mustaqbal). Contoh bentuk
pertama, ucapan wali perempuan: “zawajtuka ibnati” dan yang menerima menjawab
”qabiltu”. Contoh yang kedua adalah, ucapan wali perempuan “uzawwijuka ibnati”
dan mempelai laki-laki menjawab ”qabiltu”.
- Lafal
Ijab Kabul Selain Bahasa Arab
Para
fuqaha berpendapat bahwa ijab kabul dengan lafal selain bahasa Arab
adalah sah. Hal ini jika wali perempuan dan kedua mempelai begitu juga
saksi tidak memahami bahasa Arab. Bagaimana seandainya mereka memahami dan bisa
menggunakan bahasa Arab? Dalam permasalahan ini ulama berbeda pendapat. Syafi'i
dan Ibnu Qudamah dalam kitab al-mughnîy mengatakan bahwa siapa yang menguasai
bahasa Arab dan tidak melafalkannya ketika akad, maka akad tersebut tidak sah.
Lain halnya dengan pendapat Abu Hanifah yang membolehkan akad nikah dengan selain
bahasa Arab walaupun dia pandai berbahasa Arab, dengan alasan karena lafal ijab
kabul adalah lafal khusus yang hanya dilafalkan dalam pernikahan.
Sebenarnya
yang mensyaratkan lafal ijab kabul dengan bahasa Arab, mereka itu mempersulit
ajaran Islam. Padahal ajaran Islam tersebut sangat mudah. Ijab kabul
dimaksudkan agar kedua mempelai menikah dengan saling ridla, bukan karena unsur
keterpaksaan. Jadi, dengan bahasa apapun jika tercapai maksud yang
diinginkan, maka akad nikah tersebut sah.
Hanabilah
mengatakan, jika wali perempuan dan kedua mempelai begitu juga saksi memahami
bahasa Arab maka lafal ijab kabul dilafalkan dengan bahasa Arab. Tapi jika
mereka tidak memahami bahasa Arab, maka ijab kabul boleh dilafalkan dengan
selain bahasa Arab. Pendapat paling kuat adalah pendapat Hanafiyah yang
mengatakan bahwa akad nikah sah dengan menggunakan selain bahasa Arab—walaupun
wali, kedua mempelai dan saksi paham bahasa Arab—selama bahasa tersebut
dipahami oleh saksi dan yang lainnya.
- Akad
Nikah dengan Isyarat
Para
Fuqaha membolehkan akad nikah dengan isyarat, kecuali jika isyarat tersebut
tidak dipahami oleh para saksi. Jika isyarat tersebut tidak dipahami, maka
hukum pernikahan tersebut tidak sah. Fuqaha membolehkan akad nikah dengan
isyarat bagi orang bisu, karena maksud dari pernikahan tidak akan tercapai
kecuali dengan menerima isyaratnya selama maksudnya dipahami.
Akad
nikah orang bisu; manakah yang lebih utama menggunakan isyarat atau tulisan?
Dalam
masalah ini Hanabilah membolehkan keduanya selama tulisan dan isyarat tersebut
dipahami. Sebagian Hanabilah dan Hanafiyah mengungkapkan bahwa tulisan lebih
utama dari isyarat, karena tulisan lebih jelas. Dari sini bisa dipahami bahwa
Hanabilah membolehkan orang bisu melaksanakan akad dengan isyarat, walaupun
ia bisa menulis dan membaca. Syafi'iyah mengatakan bahwa isyarat lebih baik
dari tulisan, karena tulisan termasuk ungkapan kinayah (metaforis). Malikiyah
dan Hanabilah mengatakan bahwa ijab kabul dengan isyarat atau tulisan sama
saja; tidak ada yang lebih baik, karena keduanya sama-sama lemah.
- Ijab
Kabul tanpa Dihadiri Salah Satu Mempelai
Akad
nikah tetap sah walaupun salah satu dari kedua mempelai tidak ada dalam majelis
akad. Ini bisa dilakukan dengan cara mengirim utusan atau surat sebagai
perwakilan dalam akad tersebut.
- Ijab
Kabul yang Mengandung Syarat
Maksud
syarat di sini adalah salah seorang dari kedua mempelai meminta sesuatu yang
bermanfaat atau yang berkaitan dengan dirinya. Menurut Hanafiyah syarat di sini
dibagi menjadi tiga:
1.
Syarat yang benar. Adapun kondisinya sebagai berikut:
a.
Syarat yang berkaitan dengan akad, seperti istri mensyaratkan
kepada suaminya untuk memberikan nafkah bagi dirinya.
b.
Syarat yang menguatkan akad, seperti istri meminta mahar kepada
suaminya.
c.
Syarat yang dibolehkan oleh syariat meskipun tidak ada hubungannya
dengan akad atau tidak menguatkan akad, seperti seorang istri meminta
perceraian kepada suaminya.
d.
Syarat yang sesuai dengan tradisi, seperti pemberian mahar sebelum
akad nikah.
Syarat-syarat
yang disebutkan di atas tidak mempengaruhi sahnya pernikahan. Apabila salah
satu dari kedua belah pihak memberikan syarat di atas, maka mereka wajib
memenuhinya. Akan tetapi jika syarat ini tidak terpenuhi, tidak ada hak bagi
yang mensyaratkan untuk membatalkan pernikahan, karena ketidak terpenuhinya
syarat di atas menandakan ketidak ridlaan salah satu pihak dan hal ini tidak
berpengaruh terhadap akad nikah.
2.
Syarat yang salah, yaitu syarat yang menguntungkan salah satu
pihak atau orang lain. Syarat ini merupakan kebalikan dari syarat yang di atas.
Contohnya adalah istri mensyaratkan agar suaminya tidak membawanya pindah dari
negerinya atau mensyaratkan agar suaminya tidak menafkahinya dan lain
sebagainya. Apabila salah satu pihak memberikan syarat ini, maka tidak wajib
untuk memenuhinya dan tidak terpenuhinya syarat ini tidak berpengaruh terhadap
batalnya pernikahan.
3.
Syarat yang batil, yaitu syarat yang seharusnya tidak terpenuhi
sebagaimana terpenuhinya syarat yang benar. Contohnya adalah istri atau suami
mensyaratkan agar mereka saling mewarisi walaupun berbeda agama. Apabila
salah seorang atau keduanya memberikan syarat ini, maka secara otomatis
syaratnya batal dan akad tetap sah.
-
Akad Nikah dengan Tulisan
Hanafiyah
mengatakan, akad nikah bisa terjadi dalam dua kondisi. Pertama, akad nikah yang
tidak dihadiri oleh salah satu mempelai. Dalam kondisi ini akad nikah sah
dengan menggunakan tulisan. Hal ini bertujuan untuk mempermudah melangsungkan
akad nikah. Kedua, akad nikah yang dihadiri oleh kedua mempelai. Kondisi
kedua ini tidak boleh menggunakan tulisan. Pendapat ini dikuatkan oleh
Hanabilah dan Syafi'iyah.
-
Akad Nikah Melalui Perwakilan
Akad
nikah melalui perwakilan dianggap sah selama ia berada dalam satu majlis. Hal
ini dibolehkan karena apa yang diungkapkan oleh utusan merupakan ungkapan orang
yang mengutusnya.
Hanafiyah
mengatakan bahwa utusan boleh anak remaja yang sudah baligh. Imam Sarkhasi
mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara utusan yang merdeka atau budak;
dewasa ataupun belum dewasa. Seorang utusan menempati posisi orang yang
mengutusnya; perkataan dan pendengarannya adalah perkataan dan
pendengaran pengutus tersebut.
- Ijab
Kabul yang Diucapkan oleh Satu Orang
Pada
dasarnya lafal ijab dilafalkan oleh seorang dan kabul dilafalkan oleh orang
lain. Lalu bagaimana seandainya lafal ijab dan kabul diucapkan oleh satu orang?
Dalam permasalahan ini fuqaha berbeda pendapat. Hanafiyah membolehkannya, tapi
dengan syarat:
1.
Jika orang tersebut adalah wali dari kedua mempelai.
2.
Jika orang tersebut merupakan orang yang hendak menikah, sekaligus
wali dari perempuan.
3.
Jika orang tersebut wakil dari salah satu calon mempelai dan wali
dari mempelai yang lain.
Komentar